Mengapa orang bisa begitu fanatik dalam pemilu?
Publisher |
The Conversation
Media Type |
audio
Categories Via RSS |
Science & Medicine
Publication Date |
Feb 11, 2019
Episode Duration |
00:05:33
20190210-174887-17snbb1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip"> Kunst Bilde/Shutterstock

Dalam kegaduhan demokrasi terdapat celah terciptanya bibit konflik dan fanatisme berlebihan. Karena itu, secara psikologis, demokrasi mensyaratkan adanya orang-orang yang cukup pendidikan, berpikiran terbuka, toleran, bisa menerima perbedaan, dan bisa menunjukkan empati terhadap orang lain.

Apa yang terjadi di Jerman pada pertengahan 1930-an menjadi contoh bahaya fanatisme. Kala itu, ekonomi mereka tumbang dihajar krisis keuangan di Eropa dan Amerika. Ditambah, Jerman baru saja kalah di Perang Dunia I. Jutaan orang menganggur, miskin, lapar, dan frustasi.

Dalam kondisi seperti itu Adolf Hitler dan Partai Nazi menang pemilihan umum. Kanselir Jerman Hitler menegakkan fasisme dan membunuh demokrasi. Hitler, menurut Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, mendapat loyalitas tunggal di negara itu dengan cara memanipulasi ketakutan rakyat Jerman. Kanselir juga menaklukkan Polandia sehingga pecah Perang Dunia II. Fanatisme buta mengalahkan akal sehat.

Fanatisme buta bisa tumbuh subur di iklim politik yang demokratis seperti menjelang pemilihan umum di Indonesia. Orang yang fanatik rentan bias kognitif. Terkadang orang fanatik tidak bisa lagi menerima kebenaran dari kelompok lain. Orang fanatik hanya percaya bahwa hanya kelompoknya yang benar.

Dalam beberapa kondisi, perasaan cinta terhadap kelompok sendiri yang mendorong seseorang untuk berjuang untuk kelompoknya adalah sesuatu yang lumrah dan alamiah. Dalam politik sikap partisan yang mendorong loyalitas dan kerelaan orang bekerja sukarela untuk partai terkadang diperlukan.

Musim kampanye pemilu 2019 hampir selesai. Yang bikin was-was, populisme berbasis agama semakin mengganas. Politikus masih asyik memainkan identitas, mengipas pemilih supaya tetap panas. Karena itu, untuk menjadi pemilih yang kritis, setiap orang harus introspeksi memeriksa fanatisme dalam diri. Hanya dengan cara itu kita bisa menyelamatkan demokrasi kita.

Edisi ke-45 Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh Ikhsan Raharjo dan narator Aisha. Selamat mendengarkan!

The Conversation
Masalahnya, fanatisme buta itu bisa tumbuh subur di iklim politik yang demokratis. Orang yang fanatik berlebihan bisa melakukan bias kognitif.

This episode currently has no reviews.

Submit Review
This episode could use a review!

This episode could use a review! Have anything to say about it? Share your thoughts using the button below.

Submit Review