Mengapa narasi politik identitas menguat menjelang pemilu?
Publisher |
The Conversation
Media Type |
audio
Categories Via RSS |
Science & Medicine
Publication Date |
Sep 03, 2018
Episode Duration |
00:06:13
20180831-195316-qiyfil.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip">Anggota Aliansi Muslim Tarakan Kalimantan Utara berunjuk rasa terkait tuduhan penodaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, 4 November 2016. Antoni Halim

Setiap pemilihan umum, kebanyakan politikus Indonesia masih menggunakan isu agama dan kesukuan sebagai jurus utama. Mengantisipasi untuk pemilu serentak tahun depan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sampai harus mewanti-wanti adanya potensi kerawanan sosial. Dikhawatrikan, para kandidat saling lempar retorika politik identitas demi meraih suara pemilih.

Peneliti senior demografi politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riwanto Tirtosudarmo menyebut fenomena berulang itu sebagai disintegrasi dari dalam. Masyarakat sebenarnya terpecah-pecah. Secara nasional masih satu, tapi dari dalam rasa “kamu orang Madura”, “kamu orang Dayak” menguat.

Karena itu, menurut Riwanto, kita perlu menafsir ulang nasionalisme dan lebih relaks memandangnya.

Reaksi masyarakat terhadap ketimpangan ekonomi dapat mengemuka melalui perbedaan identitas. Agama menjadi satu identitas pembeda yang serius. Ini bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika, Eropa dan kawasan lain.

Kecenderungan intoleransi ini merata di hampir setiap tingkatan pendidikan masyarakat. Artinya, tingginya pendidikan tidak lantas membuat seseorang semakin toleran dengan perbedaan. Inilah batu sandungan demokrasi dalam menjaga kemajemukan. Coba lihat survei CSIS pada 2012 yang menunjukkan 33,7% respondennya mengaku enggan memiliki tetangga yang berbeda keyakinan.

Kemajemukan identitas sebenarnya memperkuat bangsa. Maka, perlu usaha bersama supaya Indonesia tidak bubar karena masalah politik primodialisme. Riwanto Tirtosudarmo menjelaskan masalah akut yang kerap melahirkan konflik tersebut.

Edisi ke-24 Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh Ikhsan Raharjo dan narator Malika. Selamat mendengarkan!

The Conversation
Kecenderungan intoleransi ini merata di hampir setiap tingkatan pendidikan masyarakat.

This episode currently has no reviews.

Submit Review
This episode could use a review!

This episode could use a review! Have anything to say about it? Share your thoughts using the button below.

Submit Review